Senin, 28 Maret 2011

7 Hari Bertualang di Pulau tak berpenghuni Anano



Hari 1.
Perjalanan hari ini di mulau dari Pulau Tomia menuju Pulau Anano, perjalanan kali ini bersama-sama rekan-rekan 2 orang peneliti yaitu chanda dan dimas dan para pegawai SPTN 3 Taman Nasional Wakatobi yang terdiri dari kepala seksi yaitu ibu Siti, lalu TIM SPAGS yang terdiri dari Pak La Engka, Pak Jack, Pak Rino lalu TIM Monitoring Penyu terdiri dari Pa Udin saja beserta Kapten kapal dan ABKnya yaitu Pak Jaya (Kapten), Pa La Dewa dan Mas Sri (ABK).
Perjalanan hari ini harusnya dimulai jam 10 .00 WITA (jam 11 di Jakarta nih), tetapi menunggu cukup lama juga karena ada beberapa perlengkapan kapal yang belum tersedia (maklum untuk pengadaan barang di pulau ini butuh waktu lebih) ya berhubung budaya bangsa kita juga sudah merebak ke nih daerah jadi deh “Ngaret”. Sekitar Pukul 12.25 kita berangkat dari pulau Tomia menuju Pulau Runduma dulu (Izin kepala desa). Oh iya saya lupa, kalau ke pulau runduma ini kita dapat tempuh menggunakan kapal transport masyarakat dengan ongkos 50.000 dan waktu tempuh sekitar + 4 jam (kalau laut Teduh), tapi perjalanan kali ini saya tempuh + 1 jam saja, karena kami menggunakan speed Taman Nasional yang diberi Nama KOILA (artinya penyu sisik/ bahasa daerah) dengan kecepatan mesin 500 PK, bayangkan lah kecepatan ini kapal……
Selama 1 jam menanti dan menikmati hamparan lautan yang masih sangat terjaga, akhirnya sampailah kita di Pulau Runduma. Penduduk di sini tampaknya sangat antusias dengan kedatangan kita ke Pulau ini, kami yang belum bersandar dan kira-kira sekitar 300 meter dari pelabuhan sudah dapat melihat mereka yang berkumpul di dermaga milik Pulau Runduma, tapi ada yang kurang di sini, ada beberapa sebagian dari mereka sedang menggunkan baju partai (lagi pemilihan bupati di wakatobi) padahal pengen lihat kealamian masyarakat di sini. Ya singkat cerita di Pulau ini, teryata kepala desa tidak ada di tempat (di sini gak ada signal apapun, jadi gak bisa confrim) besok baru tiba dari wanci, ada ibu yang sering di panggil “bunda” nah ibu ini yang vocal menyambut kita di runduma, tetapi karean kepala desa tak ada kami tidak lama-lama bertamu karena sebelum kira-kira jam 4 kita sudah harus merapat ke Pulau anano, karena air laut segara akan surut (masyarakat sini menyebutnya “METI”) Wah bisa kacau kalu kita gak bisa merapat ke pulau nih….
Singkat cerita kita pergi dari runduma, eh teryata bunda beserta beberapa masyarakat kebetulan sedang mau ke pulau anano juga untuk kemping (ya walau gak ada tendanya), ya walau kita pisah saat berangkat dari pulau runduma karena kita mau SPAGS dulu (Monitoring Menyelam pemijahan ikan target di tempat berarus). Saat bapak2 TIM SPAGS menyelam saya dan chandara tak mau kehilangan kesempatan, kita snokling deh di tempat ini (kedalaman kira-kira 30 meter), tetapi snorkling kali ini sangat melelahkan buat saya dan chandar, karena belum apa-apa kita teryata melawan arus saat mau berenang ke arah kapal….Ya akhirnya kita disusul oleh Koila (karena bisa bahaya kalau kita kelelahan dalam air). Hampir 1 jam kita menemani bapak2 SPAGS lalu kita menuju Pulau Anano, wih hampir sudah hampir meti rupanya, kami pun legas menuju tepi pantai Pulau Anano. Dari kejahuan kami bisa melihat masyarakat yang sudah sampai di pulau tersebut, ada yang sedang masak, mancing, ngobrol-ngobrol, dll.Terumbu karang di Wakatobi memang sangat indah “makanya di beri nama surga bawah laut”.dari atas kapal dapat kita nikmati semua tanpa harus snorkling pun……wihhhhhh……………….
Sampai kita di Anano, ya unik juga saya dapat melihat pembuatan kasuami (penganti nasi yang terbuat dari ubi kayu yang di giling halus) dan menggunakan kayu bakar untuk memasaknya dan membakar ikan-ikan yang baru saja anak-anak kecil ini pancing di pinggir pantai. Sebenarnya kegiatan ini sangat seru dan berkesan buat saya, tetapi ini pulau anano yang memiliki potensi luar biasa yaitu tempat peneluran penyu(saat penyu melihat karamaian dan walaupun cahaya sedikit saya tidak akan jadi naik kedarat untuk bertelur),bayangkan jika ini akan terus belangsung lama di pulau ini, apa dampaknya untuk penyu ????? walaupun frekuensi kedatangan mereka sangat minim tiap bulannya.
Malam hari pun mulai menyambut kami di pulau yang tak bersinyal dan berlistrik ini, jutaan bintang bisa kita lihat dengan terheran-teran di sini dan bulan yang rasanya begitu dekat dengan kita (kalau di perhatikan kayak kuning telor,,,ahahahaha). Singkat cerita mereka mulai mengurangi aktivitas di darat supaya tidak menggangu penyu, tetapi ya namanya juga anak kecil tetap aja ramai….hahhahah
Jam 11 kami mulai menyisir pantai di sekitar pulau anano, belum ada seekorpun penyu yang kami temui. Kami putuskan menunggu sambil ada yang duduk2 dan tiduran di pasir dekat semak-semak(kita ngintip nih…..) hingga tengah malam menjadi dini hari pun belum ada yang kita lihat naik ke darat untuk bertelur…..sambil menunggu penyu kami bersama-sama pak udin mencari sarang telur penyu saja deh…..wih senangnya kita dapat melihat telurnya dan sarangnya secara langsung,,,pak udin ini dan kayak bapak tukik, walaupun tanpa melihat jejek yang detail tapi bapak bisa prekdiksi telur berada,,,wih keren deh….
Nantikan Cerita Hari Kedua Selanjutnya…..

ASAL MULA PULAU RUNDUMA


Oleh Amiludin
Teemoane, 2011

ASAL MULA PENDUDUK PULAU RUNDUMA
Seseorang yang bernama La punggui yang tidak diketahui asal mulanya dengan menggunakan perahu jaranggka (sampan Yang berlayar) berlayar menuju pulau Runduma. Saat itu La punggui mendarat disalah satu pantai kemudian merapatkan perahunya dan berjalan memeriksa Kampung runduma. Tiba disebuah perbukitan yang sekarang disebut kampung molengo (kampung pertama) la punggui melihat seorang manusia yang masih primitif tanpa sehelai kain dibadannya, sedang berdiri dan bersandar disebuah batu menghadap kebarat pada saat matahari tenggelam kearah daratan besar pulau Tomia. Ketika manusia primitif itu melihat La penggui langsung melarikan diri dan tidak pernah kembali lagi. Oleh masyarakat Runduma kemudian menyebut batu tempat bersandar manusia primitif itu sampai saat ini dikenal dengan nama Batu La Runduma, dan disakral atau dikeramatkan oleh masyarakat desa Runduma.
Dikisahkan La Punggui adalah seorang guru silat yang menjaga pulau Runduma dan Anano dari serangan bangsa Tobelo dan Galela. Kedua Bangsa tersebut dikenal diwakatobi dengan sebutan Gerombolan (bajak Laut yang sering datang merampok harta, makanan, dan menculik para gadis di Wakatobi dan dibawa ke Maluku). Keberadaan La Punggui di Runduma terdengar sampai ke Pulau Tomia dan sampai ketelinga seseorang yang bernama La penanda. La penanda yang diceritakan salah seorang anak dari 5 bersaudara dan merupakan anak bungsu yang pekerjaan sehari-harinya berkelahi dan gemar berguru kesaktian serta merta La penanda berdayung kepulau Runduma menemui La Penggui dan meminta La Penggui agar menerimanya menjadi murid. La Punggui bekerja sama dengan La Penanda menjaga pulau anano dari serangan bangsa Galela dan Tobelo yang datang mencuri telur penyu. Diperkirakan keberadaan La Punggui dan La penanda di Pulau Runduma sekitar Zaman Penjajahan Belanda.
La Punggui kemudian meninggal dunia dan dikebumikan di kampung Molego (kampung Pertama). Sedangkan untuk La Penanda dikabarkan telah berkeluarga dan mempunyai keturunan, keturunan La Punggui dikabarkan sempat bertempat tinggal di Kulati Kecamatan Tomia Timur yang bernama La Galela. Diketahui pada November 2008 La Galela meninggal dunia di Desa Kulati.
Setelah Runduma di perkirakan aman oleh La Penanda maka menyusul sepasang suami istri dari desa kulati mebuka kebun di Sampaki To Oha ( di pohon asam besar) bernama La Ujo attas panggilan La Penanda. Saat itu penghuni satu-satunya dikampung lama adalah La Ujo bernama Isti Diketahui pada November 2008 La Galela meninggal dunia di Desa Kulati.
Setelah Runduma di perkirakan aman oleh La Penanda maka menyusul sepasang suami istri dari desa kulati mebuka kebun di Sampaki To Oha ( di pohon asam besar) bernama La Ujo attas panggilan La Penanda. Saat itu penghuni satu-satunya dikampung lama adalah La Ujo bernama Isti. Sebelumnya pendatang dari berbagai pulau Seperti Tomia, kaledupa, wangi-wangi dan Binongko bermukim dan membuka Lubum Konakau (Kebun Singkong) di kampung Molengo. Sejak itu kampung Molengo mulai ramai. La Uja adalah Kakek dari Lasimuna (La Barumbu) usianya sekitar 100 tahun, hal ini dibenarkan oleh La Hasimuna yang usianya sekitar 70 Tahun.
Sekitar tahun 1963 di Zaman Pemerintahan Kepala Kampung La Taundu penduduk kampung molengo di gunung pindah ke wilayah pesisir yaitu keperkampungan Onesowa dan Onembua. Tapi dikampung Onesowa sebelumnya telah ada rumah. La hitu adalah orang tua dari La Barumbu ( La Musa adi Usia sekitar 65 Tahun La Barumbu dan La Hasimuna). Perpindahan Penduduk ke wilayah pesisir karena pada saat itu di gunung masyarakat sering di serang penyakit perut buncit atau malaria dan warna kulit kekuning-kuningan.
Pada tahun 1997 di zaman pemerintahan kepala desa La Sawiu penduduk kampung Onesowa di pindahkan oleh seorang Babinsa yang bernama Pak Lasen dari Bugis ke Onesawa dengan alasan Agar mudah dikontrol. Sebab letak kampung Onesawa dan Onembua sangat berjauhan. Kampung Onesowa terletak di sebelah selatan pantai, sedangkan kampung Onembua teretak disebelah utara pantai. Sejak itulah secara bertahap sampai tahun 2003 penduduk kampung Onesowa pindah ke kampung Onembua. Padahal di kampung Onesowa saat itu ada sumur sumber air tawar, tapi sejak pohon beringin yang tumbuh di sekitar sumur ditebang tahun 1990, air sumur itu berubah rasanya menjadi asin. Sejak itu sampai sekarang ini penduduk Desa Runduma berkonsentrasi pada satu wilayah pemukiman yaitu Onembua pantai sebelah utara pulau Runduma (La musa Adi).

Narasumber :
La Musa Adi, La Batumbu, La Hasimuna, La Dio


KISAH PENGELOLAAN TELUR PENYU PULAU RUNDUMA dan ANANO

Sejak perkampungan digunung zaman kepala kampung pertama yaitu La Taundu Telur Penyu sudah di “Pototoako” digilir setiap 4 malam setiap 2 KK untuk mencari Telur penyu dimana setiap 1 (satu) sarang pencari telur berhak mendapat 30 butir dibagi 2 (dua) KK yang mencari, masing-masing KK mendapat 15 Butir dalam setiap sarang penyu, sedangkan sisanya diserahkan kekampung untuk Kas kampung. Tradisi ini terpelihara sampai memasuki beberapa pergantian pemerintahan yaitu sejak :
1. La Taundu (Kepala Kampung Molengo( lama Tahun Menjabat…..)
2. La Majunu (Kepala Kampung Tahun…..)
3. La Husaini, ini pernah terjadi suatu kasus dimana terjadi perdagangan Induk Penyu keBali. Penangkapan induk penyu dengan jumlah Ratusan ekor yang bekerjasama dengan La Falangke (pengusaha dari Onemay)
4. Ld. Hidi (kepala Desa Pertama tahun 1975. Karena Ld Hidi seorang pelayar maka beliau hanya memerintah 2 Tahun saja (1977).
5. LD. Sawiu ( Kepala Desa tahun 1977-1980) terjadi 2 peristiwa pertukaran induk penyu dengan seorang pengusaha dari suku bajo Mantigola bersama La Sula. Saat itu 100 ekor Induk penyu di pertukarkan dengan sebuah Bodi batang bermesin 40 PK. Bodi ini kemudian dijadikan alat transportasi antar pulau oleh masyarakat (La Dio).
6. LD. Juddu ( Kepala Desa Tahun 1981-1993).
7. LD. Husin ( Kepala Desa Tahun 1993-2006).
8. La Barani (Kepala Desa Tahun 2007)
Sejak zaman La Taundu sampai Zaman LD Husin cara (Trend) pengelolaan telur penyu tak berhenti bahkan pernah mencapai tiitik mengkhawatirkan dengan penangkapan ratusan ekor induk penyu dengan alasan untuk Kas Desa di Zaman kepala Kampung LD Husaini dan Kepala Desa LD Sawiu.
Peristiwa penangkapan induk dan pengambilan telur penyu itu menurut beberapa sumber adalah awal mula hilangnya penyu dan telur di perkampungan penduduk. Padahal dulu sebelum peristiwa penangkapan itu penyu masih bertelur dibawah kolong rumah penduduk. Saat ini tempat yang ditemukan penyu bertelur hanya terdapat dipulau Anano. Beberapa lokasi dekat dengan pemukiman penduduk seperti Onesowa, Onembua, pesisir pantai pemukiman tidak ditemukan lagi bertelur. Perburuan dan pengambilan telur penyu tidak berhenti sampai saat ini. Meskipun terdapat beberapa ekor yang bertelur akan tetapi tetap diburu baik induk maupun telurnya.
Pada masa LD Husin menjabat sebagai Kepala Desa tahun 2001 pemerintah mulai bekerjasama dengan masyarakat Runduma mengenai penjagaan penyu, perburuan induk penyu dan telurnya pun berkurang seiring dengan mulai masuknya PolHut kedalam kawasan untuk melakukan pengawasan. Pada tahun 2005 Polhut bersama TNC-WWF sering berkunjung ke pulau Runduma memberikan pemahaman kepada Masyarakat tentang pentingnya Pengelolaan Penyu secara berkelanjutan.
Pada tahun 2006 Pemerintah Daerah Wakatobi mengangkat tenaga-tenaga masyarakat untuk menjaga Pantai. Meskipun begitu pengambilan telur penyu secara ilegal masih sering terjadi diakhir kepemimpinan LD Husin dengan alasan sama yaitu untuk kepentingan Kas Desa. Pada tahun 2007 (pada masa kepemimpinan La Burani) sistem kas Desa dengan mengambil telur dan Induk penyu sudah tidak ada lagi, namun pengambilan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab masih terjadi.
Berdasarkan hhasil wawancara/investigasi penggalian informasi dari penduduk setempat tentang pengelolaan induk penyu bersama telurnya dengan alasan Kas Desa, tak satupun sumber yang mengetahui sebenarnya pemanfaatan Kas Kampung sampai Kas Desa dari telur penyu penruntukannya. Salah satu sumber yang mengetahui secara persis yang sempat menikmati hasil Kas Desa dari penyu adalah Bodi Batang (jonsong 40 PK)yang dimanfaatkan untuk transportasi antar pulau, walaupun pada akhirnya bodi itu tidak diketahui lagi keberadaannya.

Narasumber :
La Musa Adi, La Batumbu, La Hasimuna, La Dio

KONDISI GEOGRAFIS
Pada Bulan Oktober, November di Pulau Runduma terlihat garis bentangan yang memisahkan laut buruh dan laut banda terletak jauh dari pulau-pulau berpenghuni lainnya di Wakatobi. Pulau ini berpasir Putih disepanjang garis pantainya, tebing-tebing menjorok ke laut, serta ayunanj pepohonan daun kelapa maupun nyanyian rindu bagi setiap orang yang pernah berkunjung ke Pulau ini. Pulau Runduma secara Geografis terletak jauh terpisah dengan pulau-pulau lain di Wakatobi. Pulau Runduma merupakan wilayah Administrasi kecamatan Tomia kabupaten Wakatobi dimana didalamya terdapat masyarakat Desa Runduma. Luas Pulau Runduma sekitar 553,2ha terletak diantara 5,5019’27” Lintang selatan dan 124019’21” Bujur Timur. Disebelah pulau ini terdapat satu pulau yang merupakan anakan dari Pulau Anano dengan luas 45,5ha.
Daratan pulau ini terdiri dari tanah berpasir pada daratan rendah, sedangkan untuk daerah bukit berupa batuan cadas dan mempunyai sedikit lahan untuk bercocok tanam “kunakau” (singkong). Dataran tinggi pulau ini hanya berkisar antara 100meter dari atas permukaan laut. Secara umum, pualu Runduma dan Anano banyak ditumbuhi mangrove dan mangrove ikutan “niga-niga”. Kedua jenis kayu ini akan banyak ditemukan di sepanjang garis pantai dan rawa-rawa air asin yang tersebar di dalam pulau Anano dan Runduma. Di dalam ekosistem mangrove banyak pula terdapat kelelawar yang beegantungan di pohon daerah rawa-rawa dekat dengan pemukiman masyarakat.

KONDISI PULAU RUNDUMA
Pulau Runduma dihuni oleh 147 KK terdiri dari jumlah KK Laki-laki 119 Orang dan KK Perempuan 27 orang, dengan jumlah penduduk sebanyak 529 jiwa. Untuk Sumberdaya manusianya masyarakat Runduma terdiri dari 151 Orang lulusan SD, 24 orang lulusan SMP, 23 Orang lulusan SMA/Sederajat, lulusan D2 dan D3 sebanyak 3 orang, sedangkan untuk lulusan S2 sebanyak 2 Orang (Amiludin 2010).
Kebanyakan penduduk pulau ini bermata pencaharian sebagai perantau diwilayah/ desa orang lain antara lain Pulau Baituh, Taliabo, Irian dan pulau Bangka Belitung. Sebagian bekerja sebagai petani, peternak kambing, nelayan, tukang, dan pedagang. Sebagian kecil ada juga yang bekerja sebagai tenaga honorer di Sekolah Dasar, SMP, Penjaga pantai, dan Tenaga kontrak Taman Nasional.
Dari segi ekonomi, penduduk desa ini berpenghasilan dari merantau, mencari ikan, beternak kambing, ayam, pertukangan, pedagang, pekerja Honorer dan Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan dari bercocok tanam, mayoritas tanaman yang biasa masyarakat tanam adalah singkong, singkong dijadikan makanan pokok masyarakat Runduma, sesekali masyarakat mencari kelapa untuk diambil santan dan dijadikan minyak goreng untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Keterampilan Masyarakat dalam mengelola Potensi Sumber Daya alam sangatlah terbatas. Hal ini dikarenakan SDM yang ada di Pulau Runduma masih sangat rendah. Aktivitas masyarakat dapat dilihat (Grafik 1).

Sebagai Sumber air tawar untuk kebutuhan sehari-hari penduduk Runduma Mengandalkan Air Tadah Hujan yang ditampung di Bak-bak, Guji dan Penampungan masyarakat. Sedangkan cadangan Masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari jika dilanda kemarau berkepanjangan ketika air di bak penampungan habis, menggunakan sumber air yang terdapat di batu dengan debit yang sangat kecil. Sumber air dari batu ini dimanfaatkan hanya pada musim kemarau karena sangat sedikit air yang dikeluarkannya, pembagian air ditentukan oleh Kepala Desa.
Desa Runduma sebagian besar dihuni oleh pendatang dari pulau Tomia, sedangkan bagian kecil lainnya dari Kaledupa, Binongko, dan wangi-wangi. Budaya masyarakat ini masih didominasi oleh budaya Tomia (budaya Timu) baik upacara adat maupun seni tarinya. Desa Runduma dipimpin oleh seorang Kepala Desa didampingi oleh 3 Kepala Dusun, dan 5 Orang Pengurus Pemerintahan Desa yang terdiri dari Kaur Pembangunan, Kaur Kesta, Kaur Pemerintahan dan Sekertaris Desa. Pada Bagian masyarakat dalam urusan pemerintahan diwakili oleh Badan Permusyawaratan Rakyat (BPR).

AKSESBILITAS

Pulau Runduma dapat dijangkau dengan menggunakan Kendaraan Laut seperti Perahu bermesin atau Body Batang. Dari Ibukota kecamatan Runduma ke Ibukota kabupaten dapat ditempuh perjalanan berkisar antara 6-8 jam. Arus transportasi penyebrangan antar pulau sangat Minim sehingga membuat masyarakat Runduma sangat kurang mendapatkan Informasi. Hubungan Informasi hanya melalui telekomunikasi hanya dapat dihubungkan melalui Radio Olben (SSB).


PENGELOLAAN POTENSI SDA
Pulau Runduma adalah salah satu pulau yang masih memiliki lokasi Pemijahan Ikan, Terumbu Karang masih sehat karena dukungan Upwelling/pertemuan arus. Dari dua lokasi penting untuk dikelola secara berkelanjutan dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi tiga lokasi berada di pulau Runduma ini yaitu : Lokasi Pemijahan Ikan, Penyu, dan Bertelurnya Burung Pantai ( hasil Penelitian TNC-WWF dan TNW 2003-2007). Pulau ini dapat dikatakan kalau potensi Sumber Daya Perikanan sangatlah melimpah karena dukungan kondisi alam yang natural, Mangrove sebagai Lokasi Kepiting, Udang, Ikan, Termbu Karang dan Pasir Putih merupakan tempat hidup berbagai jenis mahluk hidup yang akan menambah berbagai jenis mahluk berpotensi mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat pulau Runduma.
Keterbatasan masyarakat dalam pengelolaan Perikanan membuat masyarakat desa ini tidak dapat menghasilkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan tidak adanya transportasi antar pulau, mereka pun tidak mempunyai bak-bak penampungan sehingga menyulitkan mereka untuk menyimpan hasil tangkapannya. Apabila hasil tangkapannya melimpah maka ikan yang didapat di asinkan. Hasil tangkapan para nelayan biasanya untuk dijual di masyarakat. Sesekali ada pula pembeli dari pulau lain namun frekuensinya sangat jarang sekali. Ikan yang telah diasinkan apabila tidak terjual maka dibiarkan begitu saja hingga menjadi busuk, hal ini yang sering membuat nelayan Runduma merugi dikarenakan akses dan sarana transportasi kesana yang minim.
Narasumber :
La Marhunu, Nurdin, La Shaleh, La Basri, La Husain


PELAYANAN KESEHATAN
Dalam pelayanan kesehatan yang berada di Desa Runduma hanya terdapat seorang Mantri, terdapat sebuah Puskesmas namun kondisinya tidak memadai dan tidak dapat difungsikan hal ini juga diperparah dengan terbatasnya petugas. Kebutuhan masyarakat akan obat sangat sulit terpenuhi. Kebanyakan masyarakat jika sakit masih mengandalkan obat tradisional sebagai alternatif pengobatan karena biaya pengobatan sangat mahal sekali serta pelayanan dari petugas sangat terbatas sekali.
Obat-obatan yang berasal dari bantuan Rumah Sakit Daerah Wakatobi pun tidak banyak membantu dikarenakan masyarakat tidak mampu untuk membelinya. Surat rujukan untuk masyarakat miskin belum tersedia di pulau ini. Hal ini dikarenakan petugas yang bertugas sering tidak ada ditempat sehingga masyarakat runduma tidak dapat berbuat apa-apa. Masyarakat hanya dapat pasrah, sebagian masyarakat juga sempat berupaya mencari pengobatan dengan menumpang dan mencarter kapal nelayan dan pergi ke pulau Tomia dan Pulau Wangi-wangi. Namun dengan jarak yang cukup jauh dan membutuhkan waktu tempuh yang lama sebagian besar dari masyarakat yang pergi berobat menginggal sebelum sempat di tangani oleh pihak RS.

PENDIDIKAN
Desa Runduma mempunyai 2 (dua) gedung Sekolah Dasar dengan 12 Ruangan yang terdiri dari 6 (enam) Ruangan Belajar Mengajar, 3 (tiga) ruangan Toilet, 1 (satu) Buah ruang Perpustakaan dan 1 (satu) Ruangan Dewan Guru. Sekolah ini didukung oleh 4 (empat) orang guru Pegawai Negeri Sipil dan 6 (enam) orang tenaga mengajar Honorer. Desa Runduma memiliki 1 (satu) buah gedung Sekolah Menengah Tingkat Pertama yang terdiri dari 3 (tiga) ruangan, 1 (satu) ruangan unutuk dewan Guru, 2 (dua) ruangan untuk Belajar Mengajar. Sekolah ini didukung oleh 2 (dua) orang Guru Defenitif dan 3 (tiga) orang Tenaga Honorer, serta 3 (tiga) orang Guru SK Kepala Sekolah.
Dalam proses belajar mengajar, sebagian besar sekolah yang berada didesa Runduma tidak berjalan dengan baik, hal ini disesbabkan Guru yang datang untuk bertugas mengajar tidak datang dalam waktu yang lama. Sebagian besar guru yang bertugas mengajar berasal dari Pulau Tomia dan Pulau Kaledupa, karena alasan transportasi yang dinilai sulit maka mereka tidak dapat datang mengajar di sekolah tersebut setiap harinya. Biasanya proses belajar mengajar dapat terhenti selama berbulan-bulan. Sedangkan Tenaga Honorer dan tenaga SK Kepala Sekolah tidak dapat membantu banyak dikarenakan rata-rata mereka hanyalah lulusan SLTA sehingga keterampilan yang mereka punyai belum mencukupi untuk mengajar.
Keadaan seperti ini dapat memberikan gambaran terhadap kita bagaimana kondisi sumber daya manusia yang ada di Pulau Runduma.

Taman Nasional Wakatobi

Perjalanan kali ini menuju Pulau Sulawesi, tepatnya Sulawesi Tenggara dan dengan waktu tempuh + 6 jam dari Jakarta hingga ke kendari. Perjalanan ini sebenarnya bagian penting saya dalam menyelesaikan tahap akhir study saya di Pekuliahan tingkat diploma, saya ke lokasi ini dengan tujuan Praktek Kerja Lapang (PKL) dan Tugas Akhir (TA). Sebelum dapat menuju ke lokasi ini dan mendapat izin keberangkatan, saya harus melalui seragkaian prosedur yaitu membuat proposal, bimbingan berkali-kali dan Kolocium (Tahap kolocium ini sungguh sangat berkesan).
Ohhhhh ya saya lupa,,,,,saya melakukan penelitian di Taman Nasional Wakatobi, sebenarnya ada penerbangan langsung ke Bau-bau ( lokasi ini tempat membuat izin penelitian dan wisata ke Wakatobi ), tetapi saya sengaja mengambil penerbangan jakarta –kendari. Dari kendari ke bau-bau kurang lebih memakan waktu 5 jam dengan menggunakan kapal cepat KM Sagori(salah satu armada PELNI).
Akhirnya sampai juga di Kota Bau-bau, taukah apa yang ada dipikiran saya ???? mungkin ini juga yg ada dipikiran kalian… pertama yaitu kota yang tak ramai, sangat membosankan, dll…
Tetapi hampir semua pemikiran saya itu salah, kota ini sangat ramai, meyenangkan dengan semua daya tariknya baik berupa alamnya, kulinernya dan kehidupan masyarakatnya…
Di kota ini saya sempat berkeliling kurang lebih 1 minggu, saya melihat beberapa potensi yag di miiliki kota ini, yaitu : Benteng terluas, bangunan peninggalan kesultanan, Pantainya (diantaranya kamali dan nirwana), air jatuh (air terjun), pasar ambon (menjual makanan khas),dll..
Di kota ini saya masih terus menantikan perjalanan saya ke WAKATOBI_Wangi-wangi_Kaledupa_Tomia_Binongko tentunya untu melihat semua potensi yang ada dan berusa dengan optimal mengabadikan perjalanan saya mengunakan kamera saya…..